PKS NEWS UPDATE:
« »

Senin, 28 Mei 2012

Menghilangkan Trauma Persepsi

  Ditulis oleh Ust. Hilmi Aminuddin

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,  Alhamdulillah  alladzi a’zzanaa bil Islam, wa bihadyi nabiyyina Muhammadin khairil anaam, wash shalatu was salamu ‘alaa rasulillah wa ‘alaa aalihi wa ashaabihi ajma’iin..
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Alhamdulillah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara terus menerus memberikan taufiq hidayah dan ri’ayah-Nya agar kita tetap bersama. Tetap bersama dalam jalan dakwah, tetap bersama dalam mardhatillah. Dan hari ini pun kita dihimpun dalam satu semangat kebersamaan dalam meningkatkan kerja dan kinerja dakwah kita, kerja dan kinerja taqarrub dan ta’abud ilallah, yang mudah-mudahan dengan demikian Allah menjadikan kita sebagai bagian khairun ummatin ukhrijat linnas.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Salah satu momentum acara nasional Hizb Al  ‘Adalah wal Rafahiyah, sejak ia bernama Hizb Al ‘Adalah, baru kali ini diselenggarakan di kota Bandung. Sebuah program rapat pimpinan nasional dari harokah Islamiyah diselenggarakan di kota Bandung, bagi saya ini sangat menyentuh.
Kalau kita lihat sejarah, sekian banyak pergerakan dimulai dan dikobarkan di Bandung. Pergerakan Islam pertama yang berlevel nasional, yaitu Syarikat Islam, juga dikelola dan dikobarkan di Bandung oleh rahimahullah Haji Oemar Sa’id Tjokroaminoto. Pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia juga dikobarkan di kota Bandung oleh Bung Karno. Banyak pergerakan yang lahir dari rahim kota Bandung. Apakah yang kiri, atau yang kanan. Ataukah kanannya kanan atau kirinya kiri. Atau kirinya kanan atau kanannya kiri. Kebetulan lahir di Bandung.
Kalau saja belum ditentukan oleh undang-undang bahwa ibukota Republik Indonesia itu adalah Jakarta dan pimpinan pusat dari organisasi di negara kita harus berada di Jakarta, maka sangatlah pantas kita canangkan bahwa kota Bandung sebagai ibukota dakwah. Dan, dari pandangan optimis, penyelenggaraan ini insyaAllah akan memberikan dorongan kuat bagi seluruh kader Jawa Barat. Dengan dukungan masyarakat, dukungan rakyat Jawa Barat untuk menyongsong, bukan saja kemenangan 2009, tapi juga kemenangan 2008 dalam tingkat PILKADA, yang salah satunya adalah pemilihan gubernur. Ini harus dijadikan muntholaq bagi seluruh kader-kader kita di Jawa Barat dan kader-kader seluruh Indonesia untuk mendoakan agar kemenangan- kemenangan 2008 itu bisa diraih oleh kader- kader kita. Dibantu doa dari seluruh kader dari segenap penjuru tanah air, dan insya Allah oleh saudara-saudara kita dari segenap penjuru dunia.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Seperti dalam tema RAPIMNAS ini, mudah-mudahan jadi muntholaq  untuk meraih kemenangan pemilu yang masanya kurang dari dua tahun lagi. Saya terpana dengan tema RAPIMNAS ini, walaupun saya baru baca malam ini: “Menyongsong Kemenangan 2009 dengan Meningkatkan Kapasitas Kepemimpinan dan Pelayanan.” Allahu Akbar!
Berbicara tentang kapasitas kepemimpinan, bukan terbatas kepemimpinan dalam lingkup kepemimpinan jamaah dakwah ini, tapi juga ruang lingkup kepemimpinan nasional. Agar setiap pimpinan negeri ini, seperti yang juga telah ditorehkan oleh para mjahidin dan jihadnya. Jihad perlawanan terhadap Belanda, jihad perlawanan terhadap Jepang, jihad perlawanan terhadap komunisme, muncul kepemimpinan- kepemimpinan nasional, dari mata rantai jihad itu, yang diakui maupun yang tidak diakui, yang mendapatkan bintang jasa dan yang tidak mendapatkan bintang jasa. Insya Allah, mudah-mudahan, kita adalah bagian dari mereka, yang akan melanjutkan perjalanan mereka, dan meraih kemenangan demi kemenangan yang telah dijanjikan oleh Allah, juga yang dicita-citakan leluhur kita.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Kepemimpinanyang kita maksud bukan semata kepemimpinan yang berlandaskan atau bertumpu atas kekuasaan (‘alal qa-idah sultthaniyah), tapi kepemimpinan yang bertumpu atas ruhiyah—maknawiyah—fikriyah, yang kekuasaannya didorong oleh semangat menyebarkan rahmatan lil’alamin. Sehingga melalui hal itu, semangat pelayanan juga akan dirasakan oleh segenap umat Islam Indonesia, segenap bangsa Indonesia, oleh segenap umat di dunia.
Untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan, atau dengan kata lain membangun kader kepemimpinan—yang tidak terbatas diharapkan oleh partai/jamaah ini, bahkan diharapkan oleh kemanusiaan ini—sudah barang tentu kita harus melakukan beberapa hal.

Pertama: Tathahhur (Membersihkan Diri)
Pertama, harus melakukan tathahhur, selalu membersihkan diri. Kata Allah, “Innallaha yuhibbu attawwabiina wa yuhibbul muthathahhirin.” Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu membersihkan diri.
Di situ Allah bukan berfirman dengan “Mencintai orang-orang yang bersih.” Sebab, bukan kapasitas manusia untukmenjadi thahir (bersih). Bahkan dalam hadits qudsi, kata Allah: “Jika manusia menjadi bersih tanpa dosa, akan diganti oleh makhluk lain, yang berdosa kemudian minta ampunan”, yang lebih senang meminta ampunan atas dosanya kepada Allah.
Karena berdosanya manusia adalah untuk menampilkan keagungan ampunan Allah. Karakter manusia ada potensi untuk berbuat dosa. Siapapun ada potensi untuk kepleset. Tetapi sudah barang tentu jangan hobi kepleset. Kepleset kemudian tersadar. Setiap salah selalu tersadar. Setiap kesalahan selalu diikuti oleh sadar, sadar dan sadar, sehingga ia mencapai kemenangan. Oleh karena itu “SADAR” menang di Bekasi (Saaduddin—Darip, pasangan Bupati Bekasi dari Hizb Al  ‘Adalah wal Rafahiyah).
Kesadaran itulah yang membangkitkan semangat tathahhur –selalu berusaha membersihkan diri. Mungkin kita ingat hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan perumpamaan tentang orang-orang yang selalu menjaga shalat, muhafazhah ala asshalawat, yaitu bagaikan orang yang punya rumah di pinggir sungai, yang bila terkena kotoran selalu mandi. Perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang sungguh luar biasa. Artinya ima kali shalat minimal akan menutup lima kali kesalahan, setiap kali salah ia mandi.
Saya bicara tentang tanmiyah an-nukhbah qiyadiyah, membangun kaderisasi kepemimpinan. Saya tidak berbicara tentang tathahhur fil wudhu atau tathahhur fi tazkiyatin nafs. Yang itu tidak ada hubungannya langsung dengan kepemimpinan. Tapi terkait dengan membangun kaderisasi kepemimpinan, sudah barang tentu ada tathahhur yang lebih dari itu.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Tathahhur ini sangat diperlukan, mengingat Indonesia ini salah satu negeri-negeri Islam, atau negeri-negeri dunia ketiga, yang dalam sejarahnya pernah mengalami masa yang sangat panjang dalam penjajahan. Bahkan setelah penjajahan pun, dibelenggu oleh kediktatoran sipil dan militer. Kita baru sembilan tahun terbebas dari mata rantai diktator penguasa penjajah dan diktator penguasa domestik, dari penguasa negeri ini, yang sipil ataupun militer. Hal ini selalu memunculkan apa yang disebut al uqdah adzdzahniyyah, trauma persepsi yang berlanjut kepada trauma mental.
Kadangkala kita terjebak oleh paradigma-paradigma berfikir lama. Jadi yang pertama kita harus lakukan adalah membebaskan dan melepaskan diri dari trauma persepsi, akibat panjangnya penindasan, panjangnya pengekangan, panjangnya penderitaan, panjangnya himpitan, dalam segala sektor –ekonomi, politik, sosil, budaya. Dan sampai sekarang umat Islam di Indonesia, belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena masih didikte oleh kepentingan-kepentingan global. Yang mendikte sebenarnya tidak salah, yang salah yang nurut kepada pendikte.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Tathahhur atau membersihkan diri, dalam tanmiyah an nukhbah qiyadiyah adalah harus selalu membersihkan diri (takhalus) dari trauma persepsi ini. Ada tujuh trauma persepsi yang kita harus membersihkan diri darinya.

1. Pertama, al uqdah al inhizamiyah, yaitu trauma persepsi selalu kalah kalau bertarung.  
Kader kita insya Allah adalah yang paling minim mengalami trauma ini. Bahkan mudah-mudahan tidak ada trauma persepsi itu. Itu bukan saja dibuktikan dalam Pemilu 2004, tapi juga dalam Pilkada. Dari 138 pilkada, kita memenangkan 81 pilkada. Berarti kader-kader kita sebenarnya sudah sadar dan bersih dari trauma persepsi ini. Sadar akan potensi diri, sadar akan misi diri, sadar akan tugas diri, dan bahwa kemenangan pada hakikatnya adalah milik Allah, dan Allah akan memberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Waman-nashru illa min ‘indillahih ‘azizil hakiim. Dari 183 pilkada, dengan segala kekurangan, dengan segala kesalahan, dan bahkan dengan segala keluguan, kita menang. Insya Allah kader kita sudah mampu membebaskan diri dari al uqdah al inhizamiyah. Sampai yang secara hitungan suara kalah, secara hitungan politik dan dakwah kita menang. Dan hal ini diakui oleh semua orang. Misalnya di pilkada DKI Jakarta mass media menulis: Foke unggul, Hizb Al  ‘Adalah wal Rafahiyah menang.
Jadi semangatnya harus semangat tahqiqul intisyaraat, merealisir kemenangan- kemenangan yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau kebetulan ada kekalahan,itu adalah kemenangan yang ditangguhkan.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Jadi al uqdah al inhizamiyah harus dicuci bersih dari kita, tidak boleh ada. Memang kita mulai dari tidak punya apa-apa, tidak punya pengalaman, tidak punya tokoh. Waktu bikin partai, kader kita 3000. Saya merasa waktu itu jumlah yang sedikit untuk mendirikan partai. Ternyata itu kebanyakan untuk mendirikan awal. Dan, ternyata kemudian kader kita ada yang jadi DPR, Ketua MPR, Bupati, Walikota, Wakil Gubernur.

2. Kedua, al uqdah al istihdafiyah, yaitu trauma persepsi yang merasa kalau kita ini jadi objek terus.
Merasai dikepung terus. Bertemu orang deg-degan. Bertemu hansip kaget. Melewati ekantor Koramil merinding. Kalau sekarang jangan begitu. Berkali-kali saya mengatakan kepada ketua-ketua DPW, bahwa antum ini setara dan sejajar dengan gubernur, Pangdam, bahkan insyaAllah lebih bi taqwakum (dengan takwa antum). Kepada ketua-ketua DPD saya katakan, antum ini sejajar dengan Bupati, Kapolres, Walikota, Dandim, Ketua Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri, bahkan insyaAllah lebih bitaqwakum. Begitu juga kepada Ketua DPC, DPRa.
Jadi dengan al uqdah al istihdafiyah, artinya kita merasa jadi sasaran terus, dikepung, bila orang datang merasa akan mengerjain. Akhirnya  tidak bisa ofensif dan kerjanya hanya defensif. Senjata kita cuma perisai, dan tidak bisa menyerang, membuat orang lain menembaki kita terus-menerus. Padahal, ibaratnya, bisa jadi kita tidak perlu perisai itu, kita lempar kepada mereka. Nastahdifuhum wala yastahdifuunana. Kita harus tathahhur membersihkan diri dari al uqdah al istihdafiyah.

3. Ketiga, al uqdah almuamaratiyah, yaitu mentalitas merasa orang-orang lain sedang bersekongkol melawan kita.
“Wah mereka sedang berkumpul, nanti bersekongkol, bagaimana nih.” Padahal belum tentu. Al Quran menyatakan: tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta. Mengapa kita menganggap mereka bersatu bersekongkol, merasa ada konspirasi, apakah lokal, apakah nasional, apakah global, secara berlebihan. Awas jangan ngobrol dengan dia, nanti terbawa, nanti hanyut. Awas kita dijegal secara politik. Kalau kader ditarbiyyah bertahun-tahun gampang hanyut itu bukan kader, tapi itu orang keder. Kita harus berani menghadapi tantangan-tantangan semuanya.
Perasaan dikepung dan ada konspirasi, kalau sudah menjadi ‘uqdah membuat kita tidak akan mampu menghadapi konspirasi meski kecil. Karena yang membesarkan dan memberikan pengaruh kepad konspirasi itu kita sendiri.

4. Keempat, al uqdah arraj’iyyah, yaitu trauma bahwa kita ini terbelakang.
Merasa bahwa kita ini anak-anak baru tumbuh, sebagian sekolah belum tamat, belum punya rumah, belum punya pekerjaan. Tertinggal ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Merasa berada di barisan belakang, nafsiyah raj’iyah, nafsiyah takhaluf. Padahal Allah Subhanahu wa taala, dan Rasulullah menghendaki kita untuk wasari’u, fastabiqul khairat. Bermusara’ah dalam meraih kebajikan. Semangat berlomba, semangat kompetisi, semangat berpacu untuk selalu ada di barisan terdepan. Berani tampil ke depan. Karena terbukti, ketika ikhwan dan akhwat berani tampil ke depan, diakui oleh semua orang. Mobilitas ikhwan dan akhwat banyak  diakui. Kita diakui sebagai partner pemerintah, bahkan partnership dengan lembaga-lembaga internasional.
Kalau semangatnya raj’iyah, ketertinggalan, keterbelakangan, terseok-sok, ketinggalan di ujung barisan, sudah barang tentu, na’udzubillahi, kita bukan hanya ditinggal oleh umnat, tapi juga oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab Allah menghendaki bertanafus, bermusara’ah dan bermusabaqah.

5. Kelima, al uqdah salbiyah, yaitu trauma persepsi yang berpikiran selalu negatif.
Tidak mempunyai pandangan ijabiyatu ru’yah, pandangan positif baik ke dalam mapun keluar. Orang ini datang mau apa ya? Jangan-jangan mau mengawasi kita. Bisa-bisa mau ini-mau itu. Yang lebih mengerikan kalau ke dalam. Ada yang meihat ikhwan dan akhwat salah sedikit lalu berkata, wah, jamaah dakwah ini ancur, mau ambruk. Jamaah dakwah ini sekarat.
Pikiran seperti itu, pertama-tama menunjukkan lam yaskurillah, tidak mau bersyukur kepada ni’mat Allah. Kita ini jamaah manusia, bukan jamaah malaikat, ada kekurangan dan ada kelebihan. Yang penting proses tathahhur, proses perbaikan terus berlangsung melalui tawashaw bilhaq, tawashaw bish-shabr, tawashaw bil marhamah.
Umar bin Khatthab mengatakan: tarqul harakah ‘uqlah. Membangun harakah itu belenggu. Kalau ada yang mengaami hambatan ekonomi, terkena musibah, kita bangkitkan lagi dengan tawashaw bil marhamah. Tangan-tangan marhamah ikhwan dan akhwat harus menyentuh ikhwan dan akhwat lain yang terkena musibah.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,

6. Keenam,  al uqdah al kamaliyah,  yaitu trauma persepsi yang cenderung  perfectionist.
Merasa kita ini kurang ini kurang itu. Jangan dulu begitu. Lebih parah lagi akibat uqdah al kamaliyat akhirnya mempengaruhi opini orang lain, dan membuat mereka menuntut kita untuk selalu sempurna. Hadzihi ‘uqdah qatilah, ini adalah trauma yang bisa membunuh kita sendiri. Sebab mereka menuntut yang sempurna dari kita yang tidak sempurna. Kita memang menjaga citra, tapi citra sebagai manusia. Citra sebagai manusia muslim bukan citra sebagai malaikat. Malaikat sifatnya baik tapi tidak memiliki keinginan-keinginan. Saya ingat dulu pelajaran di madrasah:
Al malaikatullati
laisa laha abun walaa ummun.
La akla la syurba
Wa la naumu lahum.
Bahwa malaikat itu tidak punya ayah ibu, tidak perlu makan dan minum maupun tidur. Sedangkan kita punyakebutuhan-kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan itu kita melakukan kesalahan-kesalahan.
Jadi kita ini mujtama’ basyari, jamaah basyariyah. Uqdah kamaliyat ke dalam, apalagi kalau berbentuk keluar, akan berbahaya. Beban akan bertambah, langkah akan terhambat. Palagi kalau ada opini publik terhadap diri kita bahwa diri kita sempurna. Hal itu sama dengan mempersiapkan pedang untuk menyembelih diri kita sendiri.

7. Ketujuh, al uqdah at taba’iyyah, yaitu trauma persepsi dari orang-orang yag tidak mau kreatif, maunya mengikuti
Hobinya berkalau. Kalau kayak organisasi itu, kalau kayak yayasan itu, kalau kayak partai itu, kalau… kalau… Kata Rasulullah kata “law” itu merupakan membuka pintu syetan. Memang, kata Rasulullah, “Al hikmatu dhaalatul muslim.” Yang penting harus kita perhatikan itu hikmah kebajikannya. Tapi bagi orang yang punya uqdah attaba’iyyah tidak peduli apakah itu baik atau tidak, yang penting ikuti. Ini berbahaya. Kita harus takhalus (membebaskan diri) dari uqdah attaba’iyyah. Naudzubillah kalau saja ada dalam diri kita salah satu dari trauma bukan saja persepsi tapi trauma moral yang mejadi beban. Akhirnya kita tidak bisa bergerak. Padahal Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam memperingatkan kita sebagaiman dalam haditsnya, Innamannasu kal ibilil mi-ah. Laa takaadu tajid fiiha raahilah. Manusia itu bagai 100 unta, hampir saja dari 100 itu tidak didapatkan 1 ekor unta beban.
Kader ikhwan dan akhwat ini adalah pemikul risalah muhammadiyah. Kalau ia sendiri mengalami uqdah at taba’iyyah, maka akan jadi beban, artinya repot menggotong-gotong diri sendiri. Repot menggotong kader yng menjadi beban. Seluruh kita harus menjadi pemikul beban.


*.http://www.pks-jakbar.or.id/?page=berita-detail.html&news=24

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan