Ditulis oleh Ust. Hilmi Aminuddin
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Alhamdulillah
alladzi a’zzanaa bil Islam, wa bihadyi nabiyyina Muhammadin khairil
anaam, wash shalatu was salamu ‘alaa rasulillah wa ‘alaa aalihi wa
ashaabihi ajma’iin..
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Alhamdulillah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara terus menerus
memberikan taufiq hidayah dan ri’ayah-Nya agar kita tetap bersama. Tetap
bersama dalam jalan dakwah, tetap bersama dalam mardhatillah. Dan hari
ini pun kita dihimpun dalam satu semangat kebersamaan dalam meningkatkan
kerja dan kinerja dakwah kita, kerja dan
kinerja taqarrub dan ta’abud ilallah, yang mudah-mudahan dengan demikian
Allah menjadikan kita sebagai bagian
khairun ummatin ukhrijat linnas.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Salah satu momentum acara nasional
Hizb Al ‘Adalah wal Rafahiyah, sejak ia bernama
Hizb Al ‘Adalah,
baru kali ini diselenggarakan di kota Bandung. Sebuah program rapat
pimpinan nasional dari harokah Islamiyah diselenggarakan di kota
Bandung, bagi saya ini sangat menyentuh.
Kalau kita lihat sejarah, sekian banyak pergerakan dimulai dan
dikobarkan di Bandung. Pergerakan Islam pertama yang berlevel nasional,
yaitu Syarikat Islam, juga dikelola dan dikobarkan di Bandung oleh
rahimahullah Haji Oemar Sa’id Tjokroaminoto. Pergerakan nasional menuju
kemerdekaan Indonesia juga dikobarkan di kota Bandung oleh Bung Karno.
Banyak pergerakan yang lahir dari rahim kota Bandung. Apakah yang kiri,
atau yang kanan. Ataukah kanannya kanan atau kirinya kiri. Atau kirinya
kanan atau kanannya kiri. Kebetulan lahir di Bandung.
Kalau saja belum ditentukan oleh undang-undang bahwa ibukota Republik
Indonesia itu adalah Jakarta dan pimpinan pusat dari organisasi di
negara kita harus berada di Jakarta, maka sangatlah pantas kita
canangkan bahwa kota Bandung sebagai ibukota dakwah. Dan, dari pandangan
optimis, penyelenggaraan ini insyaAllah akan memberikan dorongan kuat
bagi seluruh kader Jawa Barat. Dengan dukungan masyarakat, dukungan
rakyat Jawa Barat untuk menyongsong, bukan saja kemenangan 2009, tapi
juga kemenangan 2008 dalam tingkat PILKADA, yang salah satunya adalah
pemilihan gubernur. Ini harus dijadikan muntholaq bagi seluruh
kader-kader kita di Jawa Barat dan kader-kader seluruh Indonesia untuk
mendoakan agar kemenangan- kemenangan 2008 itu bisa diraih oleh kader-
kader kita. Dibantu doa dari seluruh kader dari segenap penjuru tanah
air, dan insya Allah oleh saudara-saudara kita dari segenap penjuru
dunia.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Seperti dalam tema RAPIMNAS ini, mudah-mudahan jadi muntholaq untuk
meraih kemenangan pemilu yang masanya kurang dari dua tahun lagi. Saya
terpana dengan tema RAPIMNAS ini, walaupun saya baru baca malam ini:
“Menyongsong Kemenangan 2009 dengan Meningkatkan Kapasitas Kepemimpinan
dan Pelayanan.” Allahu Akbar!
Berbicara tentang kapasitas kepemimpinan, bukan terbatas kepemimpinan
dalam lingkup kepemimpinan jamaah dakwah ini, tapi juga ruang lingkup
kepemimpinan nasional. Agar setiap pimpinan negeri ini, seperti yang
juga telah ditorehkan oleh para mjahidin dan jihadnya. Jihad perlawanan
terhadap Belanda, jihad perlawanan terhadap Jepang, jihad perlawanan
terhadap komunisme, muncul kepemimpinan- kepemimpinan nasional, dari
mata rantai jihad itu, yang diakui maupun yang tidak diakui, yang
mendapatkan bintang jasa dan yang tidak mendapatkan bintang jasa. Insya
Allah, mudah-mudahan, kita adalah bagian dari mereka, yang akan
melanjutkan perjalanan mereka, dan meraih kemenangan demi kemenangan
yang telah dijanjikan oleh Allah, juga yang dicita-citakan leluhur kita.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Kepemimpinanyang kita maksud bukan semata kepemimpinan yang
berlandaskan atau bertumpu atas kekuasaan (‘alal qa-idah
sultthaniyah), tapi kepemimpinan yang bertumpu atas
ruhiyah—maknawiyah—fikriyah, yang kekuasaannya didorong oleh semangat
menyebarkan rahmatan lil’alamin. Sehingga melalui hal itu, semangat
pelayanan juga akan dirasakan oleh segenap umat Islam Indonesia, segenap
bangsa Indonesia, oleh segenap umat di dunia.
Untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan, atau dengan kata lain
membangun kader kepemimpinan—yang tidak terbatas diharapkan oleh
partai/jamaah ini, bahkan diharapkan oleh kemanusiaan ini—sudah barang
tentu kita harus melakukan beberapa hal.
Pertama: Tathahhur (Membersihkan Diri)
Pertama, harus melakukan tathahhur, selalu membersihkan diri. Kata
Allah, “Innallaha yuhibbu attawwabiina wa yuhibbul muthathahhirin.”
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu membersihkan diri.
Di situ Allah bukan berfirman dengan “Mencintai orang-orang yang
bersih.” Sebab, bukan kapasitas manusia untukmenjadi thahir (bersih).
Bahkan dalam hadits qudsi, kata Allah: “Jika manusia menjadi bersih
tanpa dosa, akan diganti oleh makhluk lain, yang berdosa kemudian minta
ampunan”, yang lebih senang meminta ampunan atas dosanya kepada Allah.
Karena berdosanya manusia adalah untuk menampilkan keagungan ampunan
Allah. Karakter manusia ada potensi untuk berbuat dosa. Siapapun ada
potensi untuk kepleset. Tetapi sudah barang tentu jangan hobi kepleset.
Kepleset kemudian tersadar. Setiap salah selalu tersadar. Setiap
kesalahan selalu diikuti oleh sadar, sadar dan sadar, sehingga ia
mencapai kemenangan. Oleh karena itu “SADAR” menang di Bekasi
(Saaduddin—Darip, pasangan Bupati Bekasi dari
Hizb Al ‘Adalah wal Rafahiyah).
Kesadaran itulah yang membangkitkan semangat tathahhur –selalu berusaha
membersihkan diri. Mungkin kita ingat hadits Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam yang memberikan perumpamaan tentang orang-orang yang
selalu menjaga shalat,
muhafazhah ala asshalawat, yaitu
bagaikan orang yang punya rumah di pinggir sungai, yang bila terkena
kotoran selalu mandi. Perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang sungguh
luar biasa. Artinya ima kali shalat minimal akan menutup lima kali
kesalahan, setiap kali salah ia mandi.
Saya bicara tentang
tanmiyah an-nukhbah qiyadiyah, membangun kaderisasi kepemimpinan. Saya tidak berbicara tentang
tathahhur fil wudhu atau
tathahhur fi tazkiyatin nafs.
Yang itu tidak ada hubungannya langsung dengan kepemimpinan. Tapi
terkait dengan membangun kaderisasi kepemimpinan, sudah barang tentu ada
tathahhur yang lebih dari itu.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Tathahhur ini sangat diperlukan, mengingat Indonesia ini salah satu
negeri-negeri Islam, atau negeri-negeri dunia ketiga, yang dalam
sejarahnya pernah mengalami masa yang sangat panjang dalam penjajahan.
Bahkan setelah penjajahan pun, dibelenggu oleh kediktatoran sipil dan
militer. Kita baru sembilan tahun terbebas dari mata rantai diktator
penguasa penjajah dan diktator penguasa domestik, dari penguasa negeri
ini, yang sipil ataupun militer. Hal ini selalu memunculkan apa yang
disebut
al uqdah adzdzahniyyah, trauma persepsi yang berlanjut kepada trauma mental.
Kadangkala kita terjebak oleh paradigma-paradigma berfikir lama. Jadi
yang pertama kita harus lakukan adalah membebaskan dan melepaskan diri
dari trauma persepsi, akibat panjangnya penindasan, panjangnya
pengekangan, panjangnya penderitaan, panjangnya himpitan, dalam segala
sektor –ekonomi, politik, sosil, budaya. Dan sampai sekarang umat Islam
di Indonesia, belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena masih
didikte oleh kepentingan-kepentingan global. Yang mendikte sebenarnya
tidak salah, yang salah yang nurut kepada pendikte.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Tathahhur atau membersihkan diri, dalam
tanmiyah an nukhbah qiyadiyah adalah harus selalu membersihkan diri
(takhalus) dari trauma persepsi ini. Ada tujuh trauma persepsi yang kita harus membersihkan diri darinya.
1. Pertama, al uqdah al inhizamiyah, yaitu trauma persepsi selalu kalah kalau bertarung.
Kader kita insya Allah adalah yang paling minim mengalami trauma ini.
Bahkan mudah-mudahan tidak ada trauma persepsi itu. Itu bukan saja
dibuktikan dalam Pemilu 2004, tapi juga dalam Pilkada. Dari 138 pilkada,
kita memenangkan 81 pilkada. Berarti kader-kader kita sebenarnya sudah
sadar dan bersih dari trauma persepsi ini. Sadar akan potensi diri,
sadar akan misi diri, sadar akan tugas diri, dan bahwa kemenangan pada
hakikatnya adalah milik Allah, dan Allah akan memberikan kepada siapapun
yang dikehendaki-Nya.
Waman-nashru illa min ‘indillahih ‘azizil hakiim. Dari
183 pilkada, dengan segala kekurangan, dengan segala kesalahan, dan
bahkan dengan segala keluguan, kita menang. Insya Allah kader kita sudah
mampu membebaskan diri dari
al uqdah al inhizamiyah. Sampai
yang secara hitungan suara kalah, secara hitungan politik dan dakwah
kita menang. Dan hal ini diakui oleh semua orang. Misalnya di pilkada
DKI Jakarta mass media menulis: Foke unggul,
Hizb Al ‘Adalah wal Rafahiyah menang.
Jadi semangatnya harus semangat tahqiqul intisyaraat, merealisir
kemenangan- kemenangan yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau
kebetulan ada kekalahan,itu adalah kemenangan yang ditangguhkan.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Jadi
al uqdah al inhizamiyah harus dicuci bersih dari kita,
tidak boleh ada. Memang kita mulai dari tidak punya apa-apa, tidak punya
pengalaman, tidak punya tokoh. Waktu bikin partai, kader kita 3000.
Saya merasa waktu itu jumlah yang sedikit untuk mendirikan partai.
Ternyata itu kebanyakan untuk mendirikan awal. Dan, ternyata kemudian
kader kita ada yang jadi DPR, Ketua MPR, Bupati, Walikota, Wakil
Gubernur.
2. Kedua, al uqdah al istihdafiyah, yaitu trauma persepsi yang merasa kalau kita ini jadi objek terus.
Merasai dikepung terus. Bertemu orang deg-degan. Bertemu hansip kaget.
Melewati ekantor Koramil merinding. Kalau sekarang jangan begitu.
Berkali-kali saya mengatakan kepada ketua-ketua DPW, bahwa antum ini
setara dan sejajar dengan gubernur, Pangdam, bahkan insyaAllah lebih
bi taqwakum (dengan
takwa antum). Kepada ketua-ketua DPD saya katakan, antum ini sejajar
dengan Bupati, Kapolres, Walikota, Dandim, Ketua Kejaksaan Negeri, Ketua
Pengadilan Negeri, bahkan insyaAllah lebih bitaqwakum. Begitu juga
kepada Ketua DPC, DPRa.
Jadi dengan
al uqdah al istihdafiyah, artinya kita merasa jadi
sasaran terus, dikepung, bila orang datang merasa akan mengerjain.
Akhirnya tidak bisa ofensif dan kerjanya hanya defensif. Senjata kita
cuma perisai, dan tidak bisa menyerang, membuat orang lain menembaki
kita terus-menerus. Padahal, ibaratnya, bisa jadi kita tidak perlu
perisai itu, kita lempar kepada mereka.
Nastahdifuhum wala yastahdifuunana. Kita harus tathahhur membersihkan diri dari
al uqdah al istihdafiyah.
3. Ketiga, al uqdah almuamaratiyah, yaitu mentalitas merasa orang-orang lain sedang bersekongkol melawan kita.
“Wah mereka sedang berkumpul, nanti bersekongkol, bagaimana nih.” Padahal belum tentu. Al Quran menyatakan:
tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta.
Mengapa kita menganggap mereka bersatu bersekongkol, merasa ada
konspirasi, apakah lokal, apakah nasional, apakah global, secara
berlebihan. Awas jangan ngobrol dengan dia, nanti terbawa, nanti hanyut.
Awas kita dijegal secara politik. Kalau kader ditarbiyyah
bertahun-tahun gampang hanyut itu bukan kader, tapi itu orang keder.
Kita harus berani menghadapi tantangan-tantangan semuanya.
Perasaan dikepung dan ada konspirasi, kalau sudah menjadi
‘uqdah membuat
kita tidak akan mampu menghadapi konspirasi meski kecil. Karena yang
membesarkan dan memberikan pengaruh kepad konspirasi itu kita sendiri.
4. Keempat, al uqdah arraj’iyyah, yaitu trauma bahwa kita ini terbelakang.
Merasa bahwa kita ini anak-anak baru tumbuh, sebagian sekolah belum
tamat, belum punya rumah, belum punya pekerjaan. Tertinggal ekonomi,
pendidikan, sosial dan budaya. Merasa berada di barisan belakang,
nafsiyah raj’iyah, nafsiyah takhaluf. Padahal Allah Subhanahu wa taala, dan Rasulullah menghendaki kita untuk
wasari’u, fastabiqul khairat.
Bermusara’ah dalam meraih kebajikan. Semangat berlomba, semangat
kompetisi, semangat berpacu untuk selalu ada di barisan terdepan. Berani
tampil ke depan. Karena terbukti, ketika ikhwan dan akhwat berani
tampil ke depan, diakui oleh semua orang. Mobilitas ikhwan dan akhwat
banyak diakui. Kita diakui sebagai partner pemerintah, bahkan
partnership dengan lembaga-lembaga internasional.
Kalau semangatnya
raj’iyah, ketertinggalan, keterbelakangan, terseok-sok, ketinggalan di ujung barisan, sudah barang tentu,
na’udzubillahi, kita bukan hanya ditinggal oleh umnat, tapi juga oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab Allah menghendaki ber
tanafus, ber
musara’ah dan ber
musabaqah.
5. Kelima, al uqdah salbiyah, yaitu trauma persepsi yang berpikiran selalu negatif.
Tidak mempunyai pandangan ijabiyatu ru’yah, pandangan positif baik ke
dalam mapun keluar. Orang ini datang mau apa ya? Jangan-jangan mau
mengawasi kita. Bisa-bisa mau ini-mau itu. Yang lebih mengerikan kalau
ke dalam. Ada yang meihat ikhwan dan akhwat salah sedikit lalu berkata,
wah, jamaah dakwah ini ancur, mau ambruk. Jamaah dakwah ini sekarat.
Pikiran seperti itu, pertama-tama menunjukkan lam yaskurillah, tidak
mau bersyukur kepada ni’mat Allah. Kita ini jamaah manusia, bukan jamaah
malaikat, ada kekurangan dan ada kelebihan. Yang penting
proses tathahhur, proses perbaikan terus berlangsung melalui
tawashaw bilhaq, tawashaw bish-shabr, tawashaw bil marhamah.
Umar bin Khatthab mengatakan:
tarqul harakah ‘uqlah. Membangun harakah itu belenggu. Kalau ada yang mengaami hambatan ekonomi, terkena musibah, kita bangkitkan lagi dengan
tawashaw bil marhamah. Tangan-tangan
marhamah ikhwan dan akhwat harus menyentuh ikhwan dan akhwat lain yang terkena musibah.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
6. Keenam, al uqdah al kamaliyah, yaitu trauma persepsi yang cenderung perfectionist.
Merasa kita ini kurang ini kurang itu. Jangan dulu begitu. Lebih parah lagi akibat
uqdah al kamaliyat akhirnya mempengaruhi opini orang lain, dan membuat mereka menuntut kita untuk selalu sempurna.
Hadzihi ‘uqdah qatilah,
ini adalah trauma yang bisa membunuh kita sendiri. Sebab mereka
menuntut yang sempurna dari kita yang tidak sempurna. Kita memang
menjaga citra, tapi citra sebagai manusia. Citra sebagai manusia muslim
bukan citra sebagai malaikat. Malaikat sifatnya baik tapi tidak memiliki
keinginan-keinginan. Saya ingat dulu pelajaran di madrasah:
Al malaikatullati
laisa laha abun walaa ummun.
La akla la syurba
Wa la naumu lahum.
Bahwa malaikat itu tidak punya ayah ibu, tidak perlu makan dan minum
maupun tidur. Sedangkan kita punyakebutuhan-kebutuhan. Dalam memenuhi
kebutuhan itu kita melakukan kesalahan-kesalahan.
Jadi kita ini
mujtama’ basyari, jamaah basyariyah.
Uqdah kamaliyat ke
dalam, apalagi kalau berbentuk keluar, akan berbahaya. Beban akan
bertambah, langkah akan terhambat. Palagi kalau ada opini publik
terhadap diri kita bahwa diri kita sempurna. Hal itu sama dengan
mempersiapkan pedang untuk menyembelih diri kita sendiri.
7. Ketujuh, al uqdah at taba’iyyah, yaitu trauma persepsi dari orang-orang yag tidak mau kreatif, maunya mengikuti
Hobinya berkalau. Kalau kayak organisasi itu, kalau kayak yayasan itu,
kalau kayak partai itu, kalau… kalau… Kata Rasulullah kata “law” itu
merupakan membuka pintu syetan. Memang, kata Rasulullah, “
Al hikmatu dhaalatul muslim.”
Yang penting harus kita perhatikan itu hikmah kebajikannya. Tapi bagi
orang yang punya uqdah attaba’iyyah tidak peduli apakah itu baik atau
tidak, yang penting ikuti. Ini berbahaya. Kita harus takhalus
(membebaskan diri) dari
uqdah attaba’iyyah. Naudzubillah kalau
saja ada dalam diri kita salah satu dari trauma bukan saja persepsi
tapi trauma moral yang mejadi beban. Akhirnya kita tidak bisa bergerak.
Padahal Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam memperingatkan kita
sebagaiman dalam haditsnya,
“Innamannasu kal ibilil mi-ah. Laa takaadu tajid fiiha raahilah.” Manusia itu bagai 100 unta, hampir saja dari 100 itu tidak didapatkan 1 ekor unta beban.
Kader ikhwan dan akhwat ini adalah pemikul risalah
muhammadiyah. Kalau ia sendiri mengalami
uqdah at taba’iyyah, maka
akan jadi beban, artinya repot menggotong-gotong diri sendiri. Repot
menggotong kader yng menjadi beban. Seluruh kita harus menjadi pemikul
beban.
*.http://www.pks-jakbar.or.id/?page=berita-detail.html&news=24